Minggu, 20 Mei 2018

TATAKRAMA DALAM BAHASA SUNDA


Banyak yang enggan berbahasa Sunda dengan alasan takut salah, sekalipun ia orang Sunda dan mengerti bahasa Sunda. Rasa takut ini salah satunya karena dalam “undak usuk” ( tata bahasa ) Sunda, ada aturan yang menyangkut “tatakrama”. Yaitu tingkatan bahasa. Tingkatan bahasa ini sering dirasa susah, dan kemudian dianggap tidak praktis. Bahkan ada yang mengatakannya feodal. Mengapa orang Sunda membuat tingkatan bahasa ?

Sebenarnya , tingkatan bahasa ini menunjukkan “sifat santun”. Sama seperti bahasa daerah lainnya, misalnya bahasa Jawa. Sifat santun ini mungkin kurang kelihatan dalam bahasa Indonesia. Coba perhatikan contoh kalimat berikut ini :

1.      Ayah tidur di kursi
2.      Saya tidur di kursi
3.      Kucing tidur di kursi.

Ketiga kalimat itu predikatnya sama, yaitu “tidur”. Tidak tampak rasa santun, baik ayah, saya dan kucing sama menggunakan kata “tidur”. Dalam bahasa Sunda tidak demikian. Akan tampak perbedaan seperti pada kalimat berikut ini :

1.      Pun bapa kulem dina korsi
2.      Kuring sare dina korsi
3.      Ucing hees dina korsi.

 Predikat pada kalimat 1 : kulem, pada kalimat 2 : sare, pada kalimat 3 : hees. Ini menunjukkan “derajat” ayah ( pun bapa ) lebih tinggi dari saya ( kuring ). Sementara “derajat” saya lebih tinggi dari kucing ( ucing ). Jadi satu kata “tidur” dalam bahasa Indonesia, mempunyai tiga tingkatan dalam bahasa Sunda, yaitu :
Kulem bahasa halus, sare bahasa  menengah, hees bahasa kasar.

Penggunaan atau pemakaian bahasa halus ( Sunda : basa lemes ) dimaksudkan untuk menghormati lawan bicara. Misalnya orang tua, atau siapa saja yang perlu dihormati, termasuk anak-anak. Adapun bahasa menengah atau dianggap standar ( Sunda : basa wanoh / loma ) digunakan untuk komunikasi dengan orang yang dianggap akrab. Sedangkan bahasa kasar ( Sunda : basa kasar ) hanya dikenakan untuk binatang.

Perlu disadari bahwa penggunaan tingkatan bahasa oleh seseorang, akan memberikan efek psikologis kepada lawan bicara, dan secara tidak langsung akan menunjukan pula “pribadi” orang yang mengucapkannya. Misalnya :

1.      Anda bicara dengan bahasa menengah / standar kepada tamu yang baru dijumpai. Boleh jadi tamu itu akan merasa tidak dihormati. Terlebih kalau menggunakan bahasa kasar, mungkin tamu tersinggung dan memunculkan rasa tidak enak. Ini otomatis memberikan image jelek kepada Anda. Sehingga Anda bisa saja disebut “ jelema belegug “ artinya  orang yang tidak tahu sopan santun. 

2.      Anda menggunakan bahasa halus kepada siapa pun. Ucapan Anda akan terasa menyenangkan, karena terkesan  Anda menghormati lawan bicara. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Anda mempunyai kepribadian baik.

( Bersambung…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar